Minggu, 18 Maret 2012

Chapter 3 : The Story about PES (II)

Aku dan Aase terdiam melihat pemandangan mengerikan yang ada di depan mata kami. Betapa tidak? Orang-orang sakit yang bergelimpangan, warna hitam dimana-mana, bau busuk menyengat, juga teriakan-teriakan kesakitan. Tapi yang lebih membuat kami tercenung adalah orang-orang yang sedang merawat mereka semua. Meski dalam keadaan separah itu, meski mungkin tubuh mereka sudah lelah dan penyakit mulai menular di badan mereka, tapi mereka tetep tak berhenti. Disini, di sudut kecil Rusia tahun 1386, aku menemukan secercah cahaya dari ketulusan.

"Ruin," bisik Aase, "Ada tulisan yang muncul lagi di buku."
Aku menengok, menaikan alis, memintanya membaca.

'Orang yang sakit semakin bertambah banyak, gedung ini seolah tak cukup lagi. Kami terpaksa menjadikan kamar kami sebagai tempat pasien. Malam ini mungkin 10 suster akan tidur di dapur, Itupun jika kami masih sempat mengambil waktu tidur. 
Jelena memang suster yang baik. Semenjak kekasihnya, Ivan* Meninggal karena PES sebulan yang lalu, dia selalu berada disini dan berusaha menolong orang lain, atau setidaknya meringankan beban mereka. Tapi, kesehatan para suster disini semakin menurun. termasuk aku. Oh tuhan..... Kuatkan kami untuk melalui semua ini.'


Aku menggigit bibir. Mengaminkan dalam hati.
"kh....uhuk.... To..long... tolong a......ku...." tiba-tiba, seseorang dekat kami meronta. Matanya merah, kulit mukanya penuh bercak hitam. Disebelahku, Aase berjengit ngeri. Kulihat nyonya Akeila bergegas menghampirinya.
"Ada apa tuan? Kau butuh sesuatu?' tanya Akeila.
"uh...A...Aku ta..kuat....la...gi...." sambil tersengal pria itu berusaha bicara. Keringat mengucur di dahinya.
"Tidak tuan. Kau pasti bisa melewati ini, kau pasti bisa, selama kau percaya." Bisik Akeila sambil mengusap keringat itu, lalu berusaha menyuapinya dengan kentang tumbuk.
"Kh....Ku mohon nyonya.... berikan.....kentang...ku pa...da yang la...in...."
"Tenanglah tuan, semuanya sudah kebagian."
"Tidak, berikan saja..... pada yang....lain"
"Tapi anda harus makan tuan..." Bujuk Akeila.
"Nyo...nyonya.....kh....kh...biar...biarkan....aku...pergi dengan tenang nyonya....."
Akeila memegang tangannya, berusaha meringankan bebannya. Meski ia tahu, itu tak akan banyak membantu.
"T..terima...kasih..... nyonya....." bisik pria itu, dan menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya.
Akeila menarik nafas, melepaskan tangannya, lalu menunduk, berdoa.

"Ruin, ada tulisan dibuku. Biar kubacakan." kata Aase.
'Bertambah satu orang lagi yang meninggal. Ini berarti sudah 11 orang yang meninggal hari ini. Ini membuatku terkenang ke masa lalu. 
Waktu itu, Jimmy dan aku adalah pasangan yang berbahagia. Meski belum memiliki keturunan, kami selalu tampak mesra. Sampai suatu hari, Jimmy terkena PES*. Siang malam aku merawatnya, berdoa agar dia cepat sembuh, memohon dengan sangat pada Tuhan. Mengatakan kalau tuhan boleh mengambil nyawaku sebagai ganti kesembuhannya.
"Sudahlah keila..... Istirahatlah, aku akan baik-baik saja" kata Jim lesu.
"Bagaimana aku bisa meninggalkanmu? kau sedang sakit keras....Jika kau pergi di saat aku tak ada....aku...aku....."
"Sssst... jangan menangis. Bila memang aku harus pergi, maka aku akan pergi ke tempat yang paling indah. Disana pasti akan banyak makanan enak...."
"Dan juga bidadari cantik" selaku masam.
"Ya.... tapi jika bidadari itu menggodaku, aku akan bilang, kalau aku sudah mempunyai seorang wanita yang kecantikannya bisa membuat iri seluruh bidadari langit, dan aku akan menunggunya sampai dia tiba disini." Gurau Jimmy.
Mendengar hal itu aku tersenyum. Tapi juga semakin sedih, karena aku tahu, ini berarti Jimmy akan pergi untuk selamanya.
"Aku akan menunggumu bidadari-ku...." bisik Jimmy pelan. "Aku akan terus mengawasimu, dan menunggumu, tapi lebih dari itu, aku akan selalu mencintaimu. Berjanjilah, kau-pun akan melakukan hal yang sama...."
"Ya...aku pun akan selalu mencintaimu. Sampai akhir hidupku, aku akan selalu mencintaimu...."
Jimmy tersenyum, melihat pepohonan musim dingin yang meranggas dan salju yang bertebaran lewat kaca jendela. Perlahan-lahan sekali dia menarik napas, dan menutup mata selamaya.
Aku tahu Jimmy sudah pergi, aku berusaha tegar, tapi Air mataku tak bisa tertahankan. Aku menangis, terus menangis seharian. Seolah aku tak pernah menangis sebelumnya. 
Dan pada hari itu, aku memutuskan untuk menjadikan rumah kami sebagai tempat pengobatan orang-orang yang terkena PES. Dibantu oleh 8 suster gereja setempat dan juga Jelena, kami berusaha merawat para pasien dan meringankan beban mereka. Memastikan kalau mereka tak akan kesepian menemui ajalnya.'

Tenggorokaku tercekat. Aku menonggak ke atas, berusaha menahan tangis.

Didepanku, Nyonya Akeila sedang merawat pasien lain. Mengusap keringat mereka, menghibur, memberi obat, sambil menyuapi mereka. Aku makin tercenung. Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu tulus dan lembut seperti dia tapi tak dikenal oleh sejarah?

Nyonya Akeila yang sedang berjalan tiba-tiba terhuyung. Aku kaget, berusaha menahan badannya, tapi tak bisa. Nyonya Akeila menembusku dan jatuh ke lantai. Jelena menjerit, berlari menghampiri bersama suster-suster lain. Memeriksa denyut nadinya, suhu tubuh, dan lainnya, lalu mereka repot membawanya ke dapur. Berusaha membangunkannya. Tapi nyonya Akeila tetap tak bangun juga. Dia demam, kulihat wajahnya memerah, dan napasnya tak beraturan. Ini membuat semua orang panik.

Aku teringat, masa inkubasi penyakit ini adalah 2-7 hari. Jika memang Nyonya Akeila tertular PES, maka kesempatan hidupnya paling lama adalah seminggu. Aku menelan ludah. Akhir cerita ini semakin mendekat....

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Ivan : bahasa Rusia yang berarti Karunia
*Masa Inkubasi penyakit PES sekitar 2-7 hari. Menyerang seluruh organ dalam tubuh, dan mengakibatkan kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar